Sudah Musyang Lagi
Ini Musyang HMJM ketiga yang saya ikuti di kampus STIE Widya Wiwaha selama lebih dari tiga tahun kuliah (semester depan saya sudah skripsi, dan mudah-mudahan diwisuda April tahun depan). Tapi saya berharap tahun depan, setelah saya lulus (dan tahun-tahun depannya lagi), saya masih bisa ikut Musyang, walaupun tidak punya hak suara dan hak bicara seperti saat ini dan kemarin-kemarin.
Tentu, saya juga sempat bertanya-tanya sendiri, kenapa setiap tahun saya tidak pernah absen dari perhelatan wajib organisasi mungil yang, setelah sekian lama, dapat dibilang masih berjuang membangun fondasi dan mencari jati diri, sehingga lebih sering meminta sesuatu (waktu, tenaga, pikiran, uang) dari saya, ini?
Kenapa tidak memusatkan diri dalam pekerjaan dan bisnis saya sendiri saja, yang sedang ramai-ramainya dan sering merampok jatah waktu untuk tidur dan jalan-jalan saya? Kenapa masih mau berlelah-lelah dan bersusah-payah ikut mengurusi organisasi ini, secara langsung maupun tidak langsung, padahal saya sama sekali bukan pengurus melainkan hanya sekadar anggota kehormatan?
Jawabannya bisa panjang, bisa pula pendek. Jawaban pendek: saya punya "penyakit" perfeksionis -- kalau sudah memulai sesuatu, maka sesuatu itu harus diselesaikan. Tapi jawaban pendek ini pun ternyata harus dipanjangkan agar tidak salah dimengerti.
***
Saya ingat, kalau tidak salah, saat masih unyu-unyu semester dua di kampus STIE Widya Wiwaha ini, saya mengajak beberapa teman menghadiri rapat pembentukan pengurus di RKS 102. Sore hari setelah kuliah. Saya bertemu Mbak Desi (ketua pada waktu itu), Mbak Novi (mantan ketua), dan lain-lain kakak angkatan.
Mbak Desi menggambar struktur organisasi di papan tulis, dan saya ingat menyampaikan usulan untuk menyederhanakan divisi menjadi tiga, yang tetap dipakai hingga kepengurusan tahun 2015/2016 (SDM, Media, dan Bisnis). Saya tidak ingat usulan-usulan yang lain, tetapi sejak hari itu angkatan kami (2013) menjadi kenal dan sering berhubungan dengan angkatan 2012.
Dan selanjutnya adalah berbagai kegiatan yang kian mendekatkan aktivis lintas angkatan. Lalu tibalah saat pergantian pengurus. Saat itu saya sempat berpikir, pergantian pengurus cukup dengan rapat kecil saja. Tetapi kemudian nalar modern-rasionalistis saya menggugat: di mana AD/ART, fondasi setiap organisasi yang sehat dan "sungguhan" itu?
Karena itulah saya mengusulkan diadakan musyawarah sebagai forum tertinggi organisasi HMJM. Aduh, ternyata kakak-kakak angkatan maupun teman-teman seangkatan memang "cupu" dalam soal organisasi formal. Terpaksalah saya mengingat-ingat lagi perincian organisasi yang sudah tidak pernah saya sentuh lagi setelah sekitar sepuluh tahun. Sepuluh tahun!
Untunglah, kami berhasil menjaga semangat. Internet sangat membantu dalam mempelajari kaidah-kaidah sidang, kaidah ketuk palu, kaidah tata tertib, dan sebagainya. Dan Musyang HMJM dengan format Sidang Umum pertama di STIE Widya Wiwaha pun terlaksana dengan bantuan mahasiswa baru saat itu (Abdul, Fitri, dan lain-lain).
Musyang kedua lebih ringan bagi saya karena teman-teman sudah memiliki pengalaman. Namun, sedikit banyak saya tetap turut campur meskipun tidak lagi menjadi pengurus -- beban pekerjaan sudah terlalu banyak dan kalau di kampus saya hanya ingin kuliah atau dolan, tak mau disibukkan urusan organisasi. Sempat merasa "ge-er" juga: tanpa saya, Musyang tidak akan jalan.
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Teman-teman dari angkatan 2014 sudah cukup berpengalaman dalam menghelat acara formal dan khidmat seperti Musyang ini. Tidak ada saya pun tidak masalah. Lantas, kenapa tetap hadir. Jawabannya: selain "penyakit", saya juga merasakan sense of belonging (rasa memiliki).
Inilah organisasi yang saya bantu bangkit setelah sekian lama mati suri. Inilah organisasi yang saya jadikan laboratorium untuk berbagai gagasan tentang organisasi dan pengembangan sumber daya manusia dalam berbagai bidang: akademik, politik, sosial -- ketika teman-teman sekelas saya lulus, saya tak merasa kesepian karena saya akrab dengan adik-adik angkatan aktivis HMJM.
Banyak orang yang punya peran dan jasa dalam memberikan napas dan jiwa untuk organisasi ini. Mbak Desi, Mbak Novi, Younky, Anang, Abdul, Ega, Weldy, Valena, Adit, Nafira, Lutfia -- banyak sekali nama-nama yang bisa disebutkan, tetapi mereka semua bukan sekadar nama melainkan teman -- untuk pekerja soliter seperti saya, "teman" adalah barang mewah.
Tentu, banyak juga yang gugur di jalan. Tetapi bukan masalah: sudah biasa di organisasi mana pun. Bahkan sejak awal saya telah memperhitungkan bahwa organisasi HMJM ini butuh waktu lama untuk benar-benar mampu memberikan dampak signifikan baik bagi kampus maupun masyarakat. Mungkin setelah lima atau enam kali Musyang, HMJM baru akan diperhitungkan di ranah pergerakan mahasiswa di Jogja.
Tidak masalah: HMJM dapat dibilang baru saja terlahir kembali sebagai bayi dan membutuhkan penjagaan, pengasuhan, dan pendidikan intensif dari para pengurusnya. Dan Musyang adalah pembaiatan para pengurus itu, yang secara simbolis ditunjukkan dengan pengangkatan orang yang dipercaya mampu menjadi nakhoda kapal kecil ini.
Dan hari ini, Jumat, 2 Juni 2017, saya datang ke kampus untuk membantu gladi resik -- lebih tepatnya, gladi kotor -- untuk Musyang ketiga -- dengan mulut kecut karena belum puas ngopi dan merokok. Untunglah, saya sudah beli kopi kemasan favorit dan diizinkan Mbak Menik untuk menggunakan kompor dan meminjam gelas.
Sedang asyik-asyiknya mengobrol dengan teman-teman di Ruang Sidang Selatan -- begitu asyiknya hingga saya berdoa dalam hati agar momen seperti itu tidak pernah berakhir -- tiba-tiba saya teringat pekerjaan mendesak dari kantor yang belum selesai. Saya berpamitan dengan berat hati kepada teman-teman. Tetapi sepanjang jalan saya bertekad: I will never abandon this ship as long as I can.
Tentu, saya juga sempat bertanya-tanya sendiri, kenapa setiap tahun saya tidak pernah absen dari perhelatan wajib organisasi mungil yang, setelah sekian lama, dapat dibilang masih berjuang membangun fondasi dan mencari jati diri, sehingga lebih sering meminta sesuatu (waktu, tenaga, pikiran, uang) dari saya, ini?
Kenapa tidak memusatkan diri dalam pekerjaan dan bisnis saya sendiri saja, yang sedang ramai-ramainya dan sering merampok jatah waktu untuk tidur dan jalan-jalan saya? Kenapa masih mau berlelah-lelah dan bersusah-payah ikut mengurusi organisasi ini, secara langsung maupun tidak langsung, padahal saya sama sekali bukan pengurus melainkan hanya sekadar anggota kehormatan?
Jawabannya bisa panjang, bisa pula pendek. Jawaban pendek: saya punya "penyakit" perfeksionis -- kalau sudah memulai sesuatu, maka sesuatu itu harus diselesaikan. Tapi jawaban pendek ini pun ternyata harus dipanjangkan agar tidak salah dimengerti.
***
Saya ingat, kalau tidak salah, saat masih unyu-unyu semester dua di kampus STIE Widya Wiwaha ini, saya mengajak beberapa teman menghadiri rapat pembentukan pengurus di RKS 102. Sore hari setelah kuliah. Saya bertemu Mbak Desi (ketua pada waktu itu), Mbak Novi (mantan ketua), dan lain-lain kakak angkatan.
Mbak Desi menggambar struktur organisasi di papan tulis, dan saya ingat menyampaikan usulan untuk menyederhanakan divisi menjadi tiga, yang tetap dipakai hingga kepengurusan tahun 2015/2016 (SDM, Media, dan Bisnis). Saya tidak ingat usulan-usulan yang lain, tetapi sejak hari itu angkatan kami (2013) menjadi kenal dan sering berhubungan dengan angkatan 2012.
Dan selanjutnya adalah berbagai kegiatan yang kian mendekatkan aktivis lintas angkatan. Lalu tibalah saat pergantian pengurus. Saat itu saya sempat berpikir, pergantian pengurus cukup dengan rapat kecil saja. Tetapi kemudian nalar modern-rasionalistis saya menggugat: di mana AD/ART, fondasi setiap organisasi yang sehat dan "sungguhan" itu?
Karena itulah saya mengusulkan diadakan musyawarah sebagai forum tertinggi organisasi HMJM. Aduh, ternyata kakak-kakak angkatan maupun teman-teman seangkatan memang "cupu" dalam soal organisasi formal. Terpaksalah saya mengingat-ingat lagi perincian organisasi yang sudah tidak pernah saya sentuh lagi setelah sekitar sepuluh tahun. Sepuluh tahun!
Untunglah, kami berhasil menjaga semangat. Internet sangat membantu dalam mempelajari kaidah-kaidah sidang, kaidah ketuk palu, kaidah tata tertib, dan sebagainya. Dan Musyang HMJM dengan format Sidang Umum pertama di STIE Widya Wiwaha pun terlaksana dengan bantuan mahasiswa baru saat itu (Abdul, Fitri, dan lain-lain).
Musyang kedua lebih ringan bagi saya karena teman-teman sudah memiliki pengalaman. Namun, sedikit banyak saya tetap turut campur meskipun tidak lagi menjadi pengurus -- beban pekerjaan sudah terlalu banyak dan kalau di kampus saya hanya ingin kuliah atau dolan, tak mau disibukkan urusan organisasi. Sempat merasa "ge-er" juga: tanpa saya, Musyang tidak akan jalan.
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Teman-teman dari angkatan 2014 sudah cukup berpengalaman dalam menghelat acara formal dan khidmat seperti Musyang ini. Tidak ada saya pun tidak masalah. Lantas, kenapa tetap hadir. Jawabannya: selain "penyakit", saya juga merasakan sense of belonging (rasa memiliki).
Inilah organisasi yang saya bantu bangkit setelah sekian lama mati suri. Inilah organisasi yang saya jadikan laboratorium untuk berbagai gagasan tentang organisasi dan pengembangan sumber daya manusia dalam berbagai bidang: akademik, politik, sosial -- ketika teman-teman sekelas saya lulus, saya tak merasa kesepian karena saya akrab dengan adik-adik angkatan aktivis HMJM.
Banyak orang yang punya peran dan jasa dalam memberikan napas dan jiwa untuk organisasi ini. Mbak Desi, Mbak Novi, Younky, Anang, Abdul, Ega, Weldy, Valena, Adit, Nafira, Lutfia -- banyak sekali nama-nama yang bisa disebutkan, tetapi mereka semua bukan sekadar nama melainkan teman -- untuk pekerja soliter seperti saya, "teman" adalah barang mewah.
Tentu, banyak juga yang gugur di jalan. Tetapi bukan masalah: sudah biasa di organisasi mana pun. Bahkan sejak awal saya telah memperhitungkan bahwa organisasi HMJM ini butuh waktu lama untuk benar-benar mampu memberikan dampak signifikan baik bagi kampus maupun masyarakat. Mungkin setelah lima atau enam kali Musyang, HMJM baru akan diperhitungkan di ranah pergerakan mahasiswa di Jogja.
Tidak masalah: HMJM dapat dibilang baru saja terlahir kembali sebagai bayi dan membutuhkan penjagaan, pengasuhan, dan pendidikan intensif dari para pengurusnya. Dan Musyang adalah pembaiatan para pengurus itu, yang secara simbolis ditunjukkan dengan pengangkatan orang yang dipercaya mampu menjadi nakhoda kapal kecil ini.
Dan hari ini, Jumat, 2 Juni 2017, saya datang ke kampus untuk membantu gladi resik -- lebih tepatnya, gladi kotor -- untuk Musyang ketiga -- dengan mulut kecut karena belum puas ngopi dan merokok. Untunglah, saya sudah beli kopi kemasan favorit dan diizinkan Mbak Menik untuk menggunakan kompor dan meminjam gelas.
Sedang asyik-asyiknya mengobrol dengan teman-teman di Ruang Sidang Selatan -- begitu asyiknya hingga saya berdoa dalam hati agar momen seperti itu tidak pernah berakhir -- tiba-tiba saya teringat pekerjaan mendesak dari kantor yang belum selesai. Saya berpamitan dengan berat hati kepada teman-teman. Tetapi sepanjang jalan saya bertekad: I will never abandon this ship as long as I can.
Komentar
Posting Komentar